Sunday, May 31, 2009

ABU NAWAS

PEMBALASAN

Abu Nawas hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi pagi beberapa pekerja kerajaan membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah karena atas perintah Baginda. Kata mereka tadi malam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya. Tetepi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata tidak ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas dan mengganti kerugian. Inilah yang membuat Abu Nawas memendam dendam.

Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga menemukan muslihat untuk membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak.
Keesokan harinya Abu Nawas melihat lalat-lalat menyerbu makanannya yang sudah basi. Ia tiba-tiba tertawa riang.

“Tolong ambilkan kain penutup untuk makanan ku dan sebatang besi.” Kata Abu Nawas kepada istrinya.

“Untuk apa ?” Tanya istrinya

“Membalas Baginda.” Kata Abu Nawas singkat.

Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju Istana. Setiba di Istana, Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata,

“Ampun Tuanku, hamba menghadap Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tanu yang tak diundang. Mereka masuk rumah hamba tanpa izin dari hamba dan berani memakan makanan hamba.”

“Siapakah tamu-tamu yang tak diundang itu wahai Abu Nawas?” sergap Baginda kasar.

“Lalat-lalat ini, Tuan ku.” Kata Abu Nawas sambil membuka tutup piring nya.

“Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini.”

“Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan?”

”Hamba hanya menginginkan izin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu.”
Baginda tidak bisa mengelakkan diri menolak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di Istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat surat izin yang isinya mempekenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di mana pun hinggap.

Tanpa menunggu perintah Abu Nawas mulai mengusir lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana-sini. Dengan tongkat besinya yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar memukuli lalat itu. Ada yang hinggap di kaca, Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga pecah, kemudian vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias. Sehingga sebagian dari Istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan Baginda.

Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa puas Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas yang nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah menjadi garang dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang yang mengusiknya.

Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari Istana. Rahimsyah 



TIPU DIBALAS TIPU

Ada seorang ahli Yogis mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya Imam Abu Nawas. Setelah mareka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menenui Abu Nawas di kediamannya.
Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melakukan Shalat Duha. Setelah dipersilakan masuk oleh isteri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil berbincang santai.
Seusai Shalat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamu bercakap-cakap sejenak.

“Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami.” Kata Ahli Yogis

“Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?” Tanya Abu Nawas polos

“Besok pagi.” Kata Pendeta.

“Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok!” Kata Abu Nawas menyanggupi.

Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahil Yogis dan Pendeta memakai baju keagamaannya masing-masing. Di tengah jalan mereka diserang rasa lapar karena memang mereka sengaja tidak membawa bekal.

“Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makan kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian.” Kata Pendeta.

Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengumpulkan derma dari dusun ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yogis dengan membawa makanan. Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata

“Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga!!”

“Jangan sekarang! Kami sedang berpuasa.” Kata Ahli Yogis

“Tapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian!” Kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.

“Aku tidak setuju kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun!!!!!!!!!!!” Kata Pendeta.

“Betul aku pun tidak setuju karena waktu makan ku besok pagi.” Kata Ahli Yogis.

“Bukankah aku yang engkau jadikan alat pencari derma dan derma itu sekarang telah ku tukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengizinkan aku mengambil bagianku sendiri. Itu tidak masuk akal!!!!!!!!!!!!!!!” Kata Abu Nawas mulai merasa jengkel.
Namun begitu Pendeta dan Ahli Yogis tetap bersikeras tidak mangizinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menjadi hak nya. Abu Nawas penasaran dan mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengizinkan ia makan bagiannya. Tetapi mereka menolak. Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikit pun kemarahannya.

“Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian.” Kata Pendeta kepada Abu Nawas.

“Perjanjian apa?” Tanya Abu Nawas.

“Kita adakan lomba. Barang siapa di antara kita bermimpi paling indah akan mendapat bagian terbanyak yang kedua lebih sedikit dan paling buruk akan nendapat paling sedikit.” Pendeta itu menjelaskan. Abu Nawas setuju. Ia tidak memberi komentar apa-apa.

Malam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan ahli yogis mengantuk dan tidur. Abu Nawas tak bisa tidur.Ia hanya pura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya tidur lelap, Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berfikir duakali Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tak tersisa. Setelah merasa kenyang Abu Nawas baru dapat tidur.

Keesokan harinya mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yogis dengan wajah berseri-seri bercerita,

“Tadi malam aku bermimpi memasuki taman yang mrip dengan Nirwana. Aku merasakenikmatan yang belum pernak ku rasakan sebelumnya dalam hidup ini!”

Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yogis benar-benar menakjubkan. Kemudian giliran Pendeta yang bercerita.

“Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke massa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertamu Beliau dan yang lebih membahagiakan adalah, aku diberkatinya!”

Ahli Yogis memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta. Abu Nawas hanya diam. Ia bahkan tidak merasa tertarik sedikit pun. karena Abu Nawas belum juga duka mulut, Pendeta dan Ahli Yogis mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.

“Kalian tentu tahu Nabi Daud AS ? Beliau adalah seorang Nabi yang ahli berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan Beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa, Beliau menyuruhku agar segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah Beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu.” Kata Abu Nawas tanpa perasaan bersalah sedikit pun.

Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yogis saling berpandangan satu sama lain. Kejengkelan Abu Nawas terobati.
Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya mendapat celaka sendiri.  Rahimsyah 




ISTANA LANGIT

Abu Nawas belum kembali. Kata istrinya ia bersama Pendeta dan Ahli Yogis sedang melakukan pengembaraan suci. Padahal saat ini Baginda sangat membutuhkan bantuan Abu Nawas. Beberapa hari terahir ini Baginda merencanakan membangun Istana di awing-awang. Karena sebagian Raja-raja di negeri tetangga telah membangun bangunan yang luar biasa.

Baginda tidak ingin menunggu Abu Nawas lebih lama lagi, Beliau mengutus beberapa orang kepercayaan untuk mencari Abu Nawas.
Mereka tidak berhasil menemukan Abu Nawas, karena Abu Nawas ternyata sudah berada di rumahnya.

Abu Nawas menghadap Baginda. Baginda amat senang. Saking gembiranya Beliau mengajak Abu Nawas bergurau. Setelah saling tukar menukar cerita-cerita lucu, Baginda mulai mengutarakan rencananya.

“Aku ingin membangun Istana di awing-awang agar aku lebih terkenal di antara Raja-raja yang lain. Adakah kemungkinan keinginan ku ini terwujud, wahai Nawas ?”

“Tidak ada yang tak mungkin dilakukan di dunia ini, Paduka yang Mulia.” Kata Abu Nawas berusaha mengikuti arah pembicaraan Baginda.

“Kalau menurut pendapat mu hal itu tidak mustahil diwujudkan, maka tugas ini akan sepenuhnya kuserahkan kepada mu!” Kata Baginda puas.

Abu Nawas terperanjat. Ia menyesal telah mengatakan kemungkinan mewujudkan Istana di awing-awang. Tetapi kata-kata yang telah didengar Baginda tidak dapat ditarik kembali.

Baginda memberi waktu Abu Nawas beberapa minggu. Rasanya tidak ada yang lebih berat bagi Abu Nawas kecuali tugas yang diembannya sekarang. Jangankan membangun Istana di langit, membangun sebuah gubuk kecil pun sudah merupakan hal yang mustahil dikerjakan. Hanya Tuhan saja yang mampu melakukannya. Begitu gumam Abu Nawas.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Tak ada yang dikerjakan Abu Nawas kecuali memikirkan bagaimana membuat Baginda merasa yakin kalau yang dibangun itu benar-benar Istana langit. Seluruh ingatannya dikeluarkan dan dihubung-hubungkan. Abu Nawas bahkan berusaha nenjangkau massa kanak-kanaknya. Sampai ia ingat bahwa dulu pernah bermain layang-layang. Dan inilah yang membuat Abu Nawas girang. Abu Nawas tidak menyia-nyiakan waktu. Ia bersama kawan-kawannya merancang layang-layang raksasa bentuk persegi empat. Setelah rampung Abu Nawas melukis ornament-ornamen di layang-layang sehingga mirip dengan Istana. Setelah selesai Abu Nawas dan kawan-kawannya menerbangkan layang-layang itu dari suatu tenpat tersembunyi.

Begitu layang-layang raksasa melayang di angkasa, penduduk negeri gempar. Baginda amat senang.

“Benarkah Abu Nawas berhasil membangun Istana di langit?”

Dengan tidak sabar Beliau bergegas menemui Abu Nawas. Abu Nawas berkata dengan bangga.

“Baginda, Istana pesanan Baginda telah rampung!!!!!!!”

“Engkau benar-benar hebat! Wahai Nawas.” Kata Baginda memuji Abu Nawas.

“Terimakasih Baginda.” Ucap Abu Nawas.

“Lalu bagai mana cara aku ke sana ?” Tanya Baginda.

“Dengan tambang, Baginda!” kata Abu Nawas.

“Kalau begitu siapkan tambang sekarang!!!!!!!!! Aku ingin segera melihat Istana ku dari dekat.“ Perintah Baginda.

“Maafkan hamba Baginda. Hamba kemari lupa memasang tambang itu. Sehingga seorang kawan hamba tertinggal di sana dan tidak bisa turun ?” Kata Abu Nawas

“Bagaimana dengan engkau sendiri Abu Nawas? Dengan apa engkau turun?” Tanya Baginda.

“Dengan menggunakan sayap.” Jawab Abu Nawas.

“Kalau begitu buatkan aku sayap agar aku bisa terbang ke sana!” Kata Baginda.

“Baginda, sayap itu hanya bisa diciptakan dalam mimpi.” Kata Abu Nawas menjelaskan.

“Engkau berani mengatakan aku gila seperti mu !!” kata Baginda sambil melotot.

“Ya, Baginda kurang lebih seperti itu.” Jawab Abu Nawas tangkas.

“Apa maksud mu?” Tanya Baginda lagi.

“Baginda tahu bahwa membangun Istana di langit adalah pekerjaan yang mustahil.
Tetapi Baginda tetap menyuruh hamba mengerjakannya. Sedangkan hamba juga tahu bahwa pekerjaan itu mustahil dikerjakan, tetapi hamba tetap menyanggupi titah Baginda yang tidak masuk akal itu.” Kata Abu Nawas berusaha meyakinkan Baginda.

Tanpa menoleh Baginda kembali ke Istana diiringi para pengawal. Abu Nawas berdiri sendiri sambil melihat ke atas.

“Sebenarnya siapa di antara kita yang gila?” Tanya Baginda mulai jengkel.

“Hamba rasa kita berdua sama-sama tidak waras!” Jawab Abu Nawas.  Rahimsyah 




MENGECOH GAJAH

Abu Nawas sedang berjalan-jalan santai. Abu Nawas melihat kerumunan orang. Abu Nawas bertanya kepada seseorang kawan yang kebetulan berjumpa di tengah jalan.

“Ada kerumunan apa di sana?” Tanya Abu Nawas.

“Pertunjukan keliling yang melibatkan gajah ajaib!”

“Apa maksud mu dengan gajah ajaib?” Tanya Abu Nawas ingin tahu.


Gajah yang bisa mengerti bahasa manusia dan yang lebih menakjubkan gajah itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya!”

Abu Nawas makin tetarik. Ia tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan dan keajaiban binatang raksasa itu.
Kini Abu Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton. Karena banyak penonton yang menyaksikan pertunjukan itu, sang pemilik gajah menawarkan hadiah yang cukup besar bagi siapa saja yang sanggup membuat gajah itu mengangguk-angguk.

Tak heran bila banyak diantara penonton mencoba maju satu persatu. Mereka berupaya dengan berbagai cara untuk membuat gajah itu mengangguk-angguk, tetapi sia-sia. Gajah itu tetap menggeleng-gelengkan kepalanya. 
Melihat kegigihan gajah itu Abu Nawas merasa semakin penasaran. Hingga ia maju untuk mencobanya. Setelah ia berhadapan dengan gajah itu Abu Nawas bertanya,

“Tahukah engkau siapa aku?” Gajah itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apakah engkau tidak takut kepada ku ?” Tanya Abu Nawas lagi. Namun gajah itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apakah engkau takut kepada tuan mu ?” Tanya Abu Nawas memancing. Gajah itu mulai ragu.

“Bila engkau tetap diam maka akan ku laporkan kepada tuan mu.” Lanjut Abu Nawas mengancam. Akhirnya gajah itu terpaksa mengangguk-angguk.

Atas keberhasilan Abu Nawas membuat gajah itu mengangguk-anggukkan kepalanya, maka ia mendapat hadiah berupa uang yang banyak. 
Pemilik gajah itu marah hingga memukuli gajahnya. Pemilik gajah itu malu. Hari berikutnya ia ingin menebus kekalahannya. Kali ini ia melatih gajahnya mengangguk-angguk. Bahkan ia mengancam akan menghukum berat gajahnya bila sampai dipancing penonton mengangguk-angguk terutama Abu Nawas tak peduli pertanyaan apa yang di ajukan.

Saat yang dinantikan tiba. Kini para penonton yang ingin mencoba, harus sanggup membuat gajah itu mengeleng-gelengkan kepala. Maka seperti hari sebelumnya, banyak para penonton tidak sanggup memaksa gajah itu mengeleng-gelengkan kepala. Setelah tidak ada lagi yang mencoba, Abu Nawas maju. Ia mengulang pertanyaan yang sama.

“Tahukah engkau siapa aku?” Gajah itu mengangguk-angguk kepalanya.

“Apakah engkau tidak takut kepada ku ?” Tanya Abu Nawas lagi. Namun gajah itu mengangguk-angguk kepalanya.

“Apakah engkau takut kepada tuan mu ?” Gajah itu mengangguk-angguk karena gajah itu lebih takut terhadap ancaman tuannya.

Akhirnya Abu Nawas mengeluarkan bungkusan kecil yang berisi balsam panas.

“Tahukah engkau apa guna balsam ini?” Gajah itu mengangguk.

“Baiklah, bolehkah ku gosok selangkangan mu dengan balsam ini?” Gajah itu mengangguk. 

Lalu Abu Nawas mengosok selangkangan gajah itu. Tentu saja gajah itu merasa panas dan mulai panik. Kemudian Abu Nawas mengeluarkan bungkusan yang lebih besar. Bungkusan ini berisi balsam.

“Maukah engkau bila balsam iniku habiskan untuk menggosok selangkangan mu ?” 
Abu Nawas mulai mengancam. Gajah itu mulai merasa ketakutan. Dan rupanya ia lupa ancaman tuannya, sehingga ia terpaksa menggelengkan kepalanya sambil mundur.
Abu Nawas dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu memenangkan sayembara meruntuhkan kegigihan gajah yang dianggap cerdik. Rahimsyah

PILIHAN TEPAT

Kawan-kawan Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa memenatkan dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas untuk mengajaknya. Abu Nawas tidak keberatan. Mereka berangkat dengan mengendarai keledai masing-masing sambil bercengkerama.
Tak terasa mereka telah menempuh hamper separuh perjalanan. Kini mereka tiba di pertigaan jalan yang jauh dari perumahan penduduk. Mereka berhenti karena mereka ragu-ragu. Setahu mereka kedua jalan itu memang menujuke hutan, tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang dihuni binatang-binatang buas, yang justru akan membahayakan jiwa mereka.
Abu Nawas hanya menyarankan agar perjalanan tidak diteruskan karena bila salah pilih mereka semua tak kan bisa kembali. Bukankah lebih bijsksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan! Tetapi salah satu dari mereka berkata,

“Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah sana. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang dapat membedakannya karena wajah mereka sama. Yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang yang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja!”

“Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?” Tanya Abu Nawas.

“Tidak!!!” Jawab kawannya singkat

“Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak!” Usul Abu Nawas

Kemudian mereka menuju ke rumah dua bersaudara yang dibicarakan tadi. Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari dua bersaudara.

“Maaf, aku sangat sibuk hari ini! Engkau hanya boleh mengajukan satu pertanyaan saja.tidak boleh lebih!”

Kemudian Abu Nawas menghampiri orang itu dan berbisik. Orang itu menjawab dengan cara berbisik. Abu Nawas mengucapkan terimakasih kepada orang itu dan memohon diri.

“Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan!” Kata Abu Nawas.

”Bagaimana engkau bisa memutuskan jalan yang sebelah kanan yang harus kita lewati? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita Tanya itu orang yang selalu berkata benar atau bohong?” Tanya teman Abu Nawas.

”Orang yang ku Tanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri.” Kata Abu Nawas. Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan.

“Tadi aku bertanya: apa yang akan di katakana saudara mu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?
Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan selalu berkata benar maka ia menjawab, jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudaranya selalu berkata benar.”  Rahimsyah 


PEKERJAAN YANG MUSTAHIL


Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Nabi Sulaiman yang mampu memerintahkan para jin memindahkan kerajaan Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin Istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas. Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda.

“ Sanggupkah engkau memindahkan Istana ku ke atas gunung agar aku bisa leluasa menikmati pemandangan di negeriku!!” 

Abu Nawas tidak langsung menjawab. Ia berfikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang mau dihukum. Akhirnya Abu Nawas menyanggupi proyek raksasa itu. Ada perintah satu lagi dari Baginda , pekerjaan itu harus selesai dalam waktu sebulan.

Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati denga kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalan hidup Abu Nawas kecuali hari ini. 
Esok hari Abu Nawas menghadap Baginda untuk membahas pemindahan Istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.

“Ampun tuan ku, hamba dating ke sini hanya untuk mengajukan usul memperlancar pekerjaan hambananti.” Kata Abu Nawas.

“Apa usul mu itu?”

“Hamba akan memindahkan Istana Baginda tepat Hari Raya Qurban yang kebetulan kurang 20 hari lagi.”

“Kalau usul mu begitu, baiklah!”

”Satu lagi Baginda, hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk di bagikan langsung kepada fakir miskin.” Kata Abu Nawas 

“Usul mu ku terima!” Kata Baginda.

Abu Nawas pulang dengan perasaan gembira. Kini tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan Istana. Jangankan memindahkan ke atas gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.

Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampis semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin akan kemampuan Abu Nawas. Namun ada juga beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini.

Saat-saat yang dinanti tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melaksanakan Shalat Hari Raya Qurban. Dan seusai Shalat, sepuluh ekor sapi di sembelih dan dimasak kemudian dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas bertanya kepada Baginda.

“Ampun tuan ku, apakah seisi istana sudah tidak ada orang lagi?”

“Tidak ada!!!!!!!!!!!!”

Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati Istana. Ia berdiri sambil memandangi Istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Baginda merasa tidak sabar.

“Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat Istana ku?” Tanya Baginda.

“Hamba sudah siap sejak tadi Baginda!” Kata Abu Nawas.

“Apa maksud mu sejak tadi? Kalau engkau sudah siap, apa yang engkau tunggu?” Tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.

”Hamba menunggu Istana Baginda diangkat selurh rakyat yang hadir untuk di detakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba akan memindahkan Istana Baginda ke atas gunung sesuai dengan titah Baginda!”

Baginda terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum. Rahimsyah